#day3

Aku menepuk pelan pundak lelaki itu, yang seperti biasa, sedang sibuk melamun. Ia menoleh, tatapannya tidak lagi dapat menutupi besarnya duka yang ia rasakan. Semangat yang biasa terpancar dari kedua bola matanya itu mulai meredup, membuatku nyaris merasa kehilangan sosok yang selama ini kukenal dekat.

Kapan mau cerita?

      Lelaki itu menggeleng, lantas menutup wajah tegasnya dengan kedua telapak tangan. “Nggak ada yang harus diceritain, Mil.”

Aku menyipitkan kedua mataku. Bohong.

      Toh aku juga nggak tahu cara bercerita yang baik.”

Aku mengedikkan bahu, menganggap alasannya ini omong kosong belaka. Selama ini juga gitu kan, Dir? Mulai aja dulu, nanti aku ba—

      Aku bahkan belum selesai menuliskan penawaranku ketika lelaki itu memotongnya cepat. “Aku nggak mau, Milka.” Aku terkejut, refleks menghentikan gerakan tanganku yang tadinya hendak menyempurnakan satu kalimat terakhir.

“Aku bahkan nggak mau mulai cerita. Jangan maksa.”

Apa dia bilang? Hei, aku sama sekali tidak memaksanya. Aku hanya mengutarakan apa yang biasanya terjadi di antara kami. Aku hanya mengingatkan, jikalau lelaki itu lupa apa yang biasa kami lakukan selama tujuh tahun terakhir ini. Apa aku terlihat terlalu memaksakan kehendak?

Tapi, kalau pun iya…… bukankah itu hal yang wajar? Wajar saja, kan, aku memaksa dia menceritakan masalahnya kali ini? Toh, sebelum ini pun, ia selalu menceritakan semuanya kepadaku. Tanpa terkecuali.

“Berhenti menulis, Milka.”

Aku terkejut ketika tiba-tiba saja lelaki itu berusaha merebut buku catatanku. Untungnya, refleksku masih cukup lebih cepat dibanding gerakan tangannya, sehingga buku catatanku masih dapat kuamankan.

Tentu saja, sontak kulayangkan tatapan kebingungan kepadanya. Aku bahkan tak mengangkat penaku untuk menulis satu kata pun, mengapa lelaki itu memintaku berhenti menulis?

“Berbicaralah.”

Aku terkesiap sedikit, tetapi tentu saja aku sudah bisa menghadapi hal ini. Sejak awal perkenalan kami, lelaki itu memang sudah memiliki rasa curiga pada ‘keistimewaan’ku. Selama tujuh tahun pertemanan kami pun, tidak terhitung berapa kali ia menudingku dapat berbicara.

Well, dia memang sama sekali tidak salah. Meskipun aku sendiri tak yakin aku masih ingat cara berbicara. Aku tak bisa menjamin aku masih mampu mengeluarkan suara dari pita suaraku yang tak pernah terpakai ini.

Tetapi, ini adalah kali pertama sejak perkenalan kami, dimana ia memaksaku berbicara dengan intonasi seperti itu. Lelaki itu jarang sekali menggunakan suaranya dalam intonasi yang menurutku terlalu rendah dan dalam itu, sehingga aku tahu sekali ada yang tidak beres dengan datangnya intonasi itu.

“Bicaralah, Milka. Hanya aku yang akan mendengar.”

Jangan mengalihkan pembicaraan.

Lelaki itu tertawa. Menyebalkan sekali mendengar tawanya yang seakan meremehkan itu. “Memangnya apa yang sedang kita bicarakan?”

Kamu. Perubahanmu.

      “Aku sudah bilang, kan? Aku nggak akan cerita. Mulai pun nggak.”

Ini tahun ketujuh kita, Dirgantara. Jangan main rahasia.

      “Siapa yang main rahasia, Milka?”

Jujur aku tidak suka sekali intonasi yang ia gunakan kali ini. Mengintimidasi. Membuatku merasa kalah, merasa bahwa memang semua ini adalah salahku.

Padahal tidak. Aku tahu ini sama sekali bukan salahku.

Aku mengedikkan daguku, menunjuk lelaki itu. Malas menulis.

“Apa aku nggak boleh punya rahasia?”

Buat apa? Cerita aja, Dirgantara. Biasanya juga gitu, kan?

      “Itu biasanya. Sekarang nggak.”

Kenapa?

      “Karena kamu nggak berhak tahu tentang ini, Milka. Aku sudah bilang berkali-kali.”

Aku hampir menangis. Hampir saja, jika aku tak ingat bahwa air mataku hanya akan membuat lelaki itu merasa berada di atas awang-awang. Aku tahu dia memang sengaja memancingku, sekadar untuk mengalihkan perhatianku sehingga aku tak lagi mendesaknya untuk bercerita.

Basi, Dirgantara. Aku sudah mengenalmu terlalu lama.

“Beri tahu aku rahasia besarmu itu, Milka.”

Apa?

      “Bicaralah. Sedikit saja.”

Kamu gila.

      See? Kamu melarang aku menyimpan rahasia, sedangkan yang kamu lakukan selama tujuh tahun terakhir ini—ah, bahkan sepanjang hidupmu ini—adalah menyempurnakan kepura-puraanmu. Kamu kira aku nggak tahu, Milka Diandra?”

Lelaki itu, Dirgantara, baru saja menyebut nama lengkapku. Itu pertanda bahaya.

Pulanglah, Dirgantara.

      Ia terkekeh, jauh lebih menyebalkan dibanding tawanya yang sedari tadi ingin sekali kubekap. “Apa aku orang pertama yang menyadari kebohongan maha besarmu ini?”

Aku bergeming, tak mengacuhkan pertanyaannya. Kubiarkan kedua bola mataku menatap lurus ke depan, hingga nyaris tak dapat kupandang lagi garis wajahnya yang keras itu.

“Jangan menuntut terlalu banyak, Milka Diandra. Semua hubungan antar-manusia ada batasannya. Aku tetap punya sudut kecilku sendiri. Kamu juga.”

Aku menunduk, tak yakin apakah aku harus menulis untuk menanggapi ucapannya, menatap lelaki itu lamat-lamat seperti hari kemarin ketika ia bercerita patah-patah, atau tetap pada posisiku sekarang: menatap lurus ke depan seakan lelaki itu sedang tidak bersamaku.

Aku tak tahu, tak yakin apakah yang ia katakan benar adanya.

“Aku nggak akan memaksa kamu berbicara lagi, meskipun aku yakin kamu memang bisa berbicara secara sempurna.”

Lelaki itu menoleh sedikit ke arahku, lantas tersenyum kecil. Sial, bahkan dengan menatap lurus-lurus ke depan seperti ini, aku masih bisa menangkap gerak bibirnya yang perlahan tersungging itu.

“Sama seperti aku nggak mau kamu memaksaku lagi. Aku sudah memutuskan, masalahku kali ini benar-benar akan menjadi rahasia. Kamu nggak perlu tahu.”

Aku tetap belum bersedia menganggukkan kepala. Sudah kubilang, bukan? Aku belum sepenuhnya setuju dengan apa yang sedari tadi ia katakan.

“Nikmati dulu kesendirianmu. Berbicaralah dengan nuranimu. Kamu harus mulai belajar untuk melepas dan terlepas dariku. Sampai ketemu lagi, Milka Diandra.”

Lelaki itu beranjak, lantas berjalan santai meninggalkan bangku tempat kami selalu bertemu setiap Selasa pagi. Langkahnya tenang sekali, persis sama seperti Selasa lalu, Selasa bulan lalu, bahkan Selasa tahun lalu.

Seperti tidak ada yang berubah.

Aku menoleh, menatap punggungnya yang sama sekali tidak terlihat asing. Tiba-tiba aku merasa bisu. Lidahku dibelit air mata. Bibirku diikat rasa sesal. Aku berteriak tanpa suara. Menangis tanpa isakan.

Dirgantara, aku tak tahu cara untuk menikmati kesendirian. Kau membuatku buta. Kau, sahabat terbaikku, kini membuatku sempurna menjadi tunawicara sekaligus tunanetra.

Terima kasih.

 

#7daysAFwritingchallenge #day3

4 Juni 2017, 11:07 PM.

 

Leave a comment