#day2

“Kamu hari ini diem banget, Mil?”

Aku mendengus. Akhir-akhir ini lelaki itu sering sekali datang terlambat. Ini sudah tahun ketujuh sejak pertama kali kami resmi menjadi teman dekat. Tahun ketujuh pula sejak kami pertama kali menetapkan pukul 8 pagi pada hari Selasa sebagai our quality time.

Dan selama ini dia tidak pernah datang terlambat.

Anything happened recently, Dir? Kamu jarang cerita, ih L

      Ia tertawa. “Harusnya aku yang nanya did anything happen. Kamu aneh hari ini.”

Bagaimana tidak? Sedang hampir sebulan terakhir ini lelaki itu tidak pernah datang tepat waktu. Hampir sebulan ini ia hanya datang untuk memenuhi jadwal rutin kita, padahal biasanya ia mencari jadwal kosong di hari lain untuk sekadar datang dan membawakanku red velvet, atau sesekali memintaku untuk menemaninya makan di suatu kafe pilihannya.

Dia tidak pernah sadar. Sebulan terakhir ini, ia lebih banyak diam saat bersamaku. Terlihat jauh lebih sibuk dengan kemelut pikirannya sendiri. Menanggapi cerita-ceritaku selama seminggu terakhir dengan anggukan singkat dan gumaman tak jelas, hanya sekadar bukti kecil bahwa ia masih mendengarkanku.

Kamu yang berubah. Sebulan terakhir ini kamu keliatan beda, tau.

      Lalu aku mendengarnya menghela nafas berat, seakan sedari tadi ada sesuatu yang menghimpit tubuhnya dan memaksanya untuk menahan nafas.

“Aku memang lagi ada masalah, Mil. Kelihatan, ya?” lelaki itu tertawa kecil sembari mengusap rambutnya yang sudah mulai panjang. Gerakan sederhana ini entah kenapa membuatnya terlihat semakin menyenangkan.

Aku mengangguk sembari mendelikkan mataku. Hei, tentu saja!

      Cerita dong, Dir.

Ia tertawa lagi, dan aku tak suka mendengar cara tertawanya kali ini. Terdengar menyedihkan, seolah sedang berusaha keras menyembunyikan kesedihan. Tawanya memilukan, seakan sudah bersiap untuk mengarak luka.

Lalu lelaki itu menoleh, menatapku dalam.

Dan dia menggeleng.

“Nggak perlu diceritain, Mil. Nggak penting kok.”

***

       Ini pertemuan keempat kami sejak terakhir kali aku menyinggung tentang perubahan sikapnya. Lelaki itu semakin tak terjangkau, sedikit demi sedikit mulai menutup diri. Jujur aku tak tahu harus berusaha seperti apa demi mendapatkan kepercayaannya. Apa tujuh tahun bukan rentang waktu yang cukup lama untuk saling percaya satu sama lain?

Aku tahu masalahnya kali ini jauh dari sesuatu yang dia bilang tidak penting. Aku tahu dia memang seringkali tersendat-sendat saat bercerita, dan terkadang itu membuatnya malas bercerita. Tidak sepertiku, yang rela menulis hingga berlembar-lembar di buku catatan demi menceritakan apa saja yang ingin kubagi bersamanya.

Dan aku yakin sekali dia tahu bahwa aku sudah terbiasa dengan itu. Aku sudah terbiasa dengan caranya bercerita. Aku sudah terbiasa menanggapi ceritanya yang terlampau singkat dengan berbagai pertanyaan, yang tentu saja menuntunnya untuk bercerita lebih banyak.

Hei, sudah kubilang, bukan? Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Jadi, apa susahnya lelaki itu menceritakan masalahnya kali ini seperti ia menceritakan masalah-masalahnya yang lain?

“Milka?”

Aku menoleh, memberinya tatapan berisi tanda tanya. Aku tahu ia pasti bisa mengerti maksud tatapanku.

“Apa aku berubah banyak?”

Spontan aku menganggukkan kepalaku.

On a scale of 1-10?”

Aku tertawa, tanpa suara tentu saja. Akhir tahun kemarin aku memaksanya menemaniku menonton Big Hero 6, salah satu film animasi rekomendasi dari Hawa, adikku di rumah singgah ini. Aku yang memang hobi sekali menonton film animasi ini tentu saja tertarik.

Susah sekali membujuk lelaki itu untuk menemaniku menonton. Nonton film itu bosenin, Milka. Bikin ngantuk, katanya pagi itu, membuatku mendelik tak percaya. Membujuk lebih banyak. Menawarkan hal-hal menyenangkan.

Aku temenin, deh. Tapi jangan marah kalo akunya ketiduran, ya. Sontak aku mengangguk-anggukkan kepala penuh semangat. Film ini pasti seru. Aku yakin kamu juga suka, nggak akan ketiduran.

Benar saja. Sepanjang pemutaran film, tatapannya sempurna terpaku pada layar. Popcorn yang sudah kusediakan saja tidak disentuhnya sedikit pun. Dan begitu saja, film animasi sederhana itu menjadi film favorit kami.

“Hei, on a scale of 1-10?”

Dan ini, yang baru saja lelaki itu katakan, adalah salah satu kalimat yang sering diucapkan oleh Baymax—robot kesehatan di film kesukaan kami itu—ketika menanyakan skala rasa sakit yang dirasakan pasiennya.

Aku mengacungkan beberapa jemariku, membentuk angka 8.

“Jangan lebay, Milka.”

Aku menggeleng. Serius.

      Lelaki itu terdiam. Tatapannya kosong, seperti menerawang sesuatu yang sepertinya mengganggu pikirannya.

      Sudah cukup penting untuk diceritakan sekarang?

      Ia menggeleng, tanpa perlu berpikir panjang. Membuatku menahan helaan nafas yang tiba-tiba terasa berat. Lelaki itu, sahabat terdekatku ini, ternyata memang belum mampu mempercayaiku.

Dan aku berani bersumpah, hal kecil itu menyedihkan sekali.

 

Masih bersambung.

#7daysAFwritingchallenge #day2

4 Juni 2017, 00:20 AM.

Leave a comment