#day5

Terlalu banyak pepatah lama yang mengatakan bahwa cinta adalah suatu kebutaan. Bahwa cinta tidak memandang apa-apa, tidak memandang siapa dan bagaimana. Kali ini aku percaya, sebab aku mencintaimu. Aku jatuh cinta padamu, yang orang bilang tak ada apa-apanya. Aku membiarkan hatiku memilihmu, tepat saat pertama kali aku melihatmu di ujung lorong gelap itu.

Klise sekali memang. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi tak apa, toh aku benar-benar merasakannya. Kau membuatku yakin bahwa pepatah lama itu bukan bualan belaka.

“Pulang sendiri?” malam itu aku terpaksa lembur. Jarum pendek di jam dinding kantorku nyaris mendekati angka sepuluh ketika aku mulai menyerah dan menutup laptopku. Ternyata di luar sedang turun hujan. Cukup deras. Untung saja hari ini Abang mengizinkanku membawa mobil ke kantor.

Lalu aku melihatmu di ujung lorong gelap dekat parkiran mobil. Seperti sedang menunggu. Entah seseorang, entah sesuatu. Aku tak tahu. Yang aku tahu, tiba-tiba saja ada yang mengetuk hatiku untuk menyapamu. Tiba-tiba saja aku jatuh hati.

Ah, kalimatku barusan tidak terdengar seperti laki-laki.

Malam itu kamu mengangguk, tanpa merasa perlu menoleh untuk sekadar melihat siapa yang bertanya. “Bareng saya aja, gimana? Saya bawa mobil.” Tawarku, sesaat setelah menelan ludah untuk mengumpulkan keberanian. Sesuai rumor yang tanpa sengaja kudengar, kau adalah wanita yang paling susah didekati di kantor ini.

Tentu, hal itu hanya terjadi apabila kami sebagai kaum Adam mendekatimu dengan bermodalkan keberanian saja, tanpa adanya gumpalan rupiah.

“Anda siapa?”

Suaramu dalam sekali. Intonasimu juga dingin, seakan menegaskan bahwa kau tak ingin diganggu tanpa adanya kesepakatan profesional.

“Apa kita pernah saling mengenal?”

Aku menggeleng. Rumor-rumor itu yang membuatku mengenalmu, Sha. “Saya Adam. Kamu Barsha, kan?”

Kau mengangguk. “Anda mau apa?”

“Saya hanya mau memastikan kamu aman. Ini sudah malam sekali, Barsha. Yakin nggak mau saya antar aja?”

Kau menoleh, memberiku tatapan tajammu itu. Mengusir. Mengintimidasi. “Saya memang masih mau di sini. Anda boleh pulang duluan. Tidak usah khawatir.”

Kau menjawab dengan tetap mengarahkan pandanganmu lurus ke depan. Kau sempurna membuatku penasaran, Barsha Adinda. Bola matamu yang ebony itu sempurna memandang tajam ke depan, seakan ada sesuatu tak kasat mata yang susah-payah kau pertahankan agar tak segera menghilang.

“Sebenarnya, apa yang sedang kamu tunggu?”

“Diri saya sendiri.” Jawabmu, tentu saja membuatku terkejut. Satu lagi misteri darimu yang membuatku tak bisa berhenti berfikir. Bagaimana caranya menunggu diri sendiri? “Barsha berarti hujan.” Lanjutmu, tetap terdengar dingin dan tak terjangkau.

“Saya sedang menikmati hujan, menunggunya mereda. Saya tidak ingin melawan atau pun meninggalkannya, karena hanya saat hujan saya dapat menikmati identitas saya sebagai diri saya sendiri, bukan sebagai pribadi yang diinginkan orang lain.” Aku sempurna membisu, tak tahu cara menanggapi ucapan filosofismu itu.

“Anda boleh pulang.”

Kali ini, demi melihatmu tersenyum, demi melihat tatapan matamu yang dipenuhi hangatnya harapan, aku mengangguk. Mematuhi keinginanmu, lalu aku pergi. Membiarkanmu sendiri, menikmati identitasmu sendiri.

***

Kau, wanita yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama ini memang bukan orang baik-baik, jikalau dilihat dari sudut pandang budaya Indonesia dan mayoritas negara-negara timur lainnya. Kau menjual diri, entah demi mengejar apa.

Materi? Tidak mungkin, Sha. Aku tahu sekali gaji yang kau dapat dari kantor kita ini jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhanmu, mengingat aku tak pernah melihatmu sebagai wanita yang hobi menghambur-hamburkan harta demi kepentingan dunia. Kepuasan? Tidak mungkin. Aku yakin sekali kau tidak sehina itu hingga mengagung-agungkan nafsu, hingga merendahkan harga dirimu demi meraih kebahagiaan yang tentunya akan diiringi penyesalan itu.
Tapi kau benar-benar menjual dirimu, Barsha. Ada apa?

Bersambung.
#7daysAFwritingchallenge #day5
8 Juli 2017, 08:41 PM.

 

Leave a comment